Tradisi Ngejalang Pesan Masyarakat Buay Mencurung Menjaga Pusaka Leluhur Yang Hilang

LAMPUNG (Lantainewstv.com)SMSI- Masyarakat Adat Marga Buay Mencurung Desa Talang Batu, Mesuji Timur, Propinsi Lampung memiliki banyak tradisi yang masih dilakukan hingga sekarang. Salah satunya Tradisi Ngejalang, merupakan tradisi yang terbilang sakral dan unik karena makan bersama ini dilakukan di area pemakaman saat ziarah kubur sebelum Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Tidak hanya di masyarakat Lampung, penduduk yang tinggal di daerah lain seperti Palu dan Jambi juga menjalankan tradisi ini dengan prosesi berbeda – beda.

Tradisi Ngejalang sendiri bagi masyarakat Adat Buay Mencurung merupakan perwujudan sikap mencintai dan menghormati leluhurnya. sebagai bentuk puji syukur atas keselamatan yang selama ini telah diberikan.

Dimana tradisi ini pada umumnya dilaksanakan sebelum ziarah dan doa di makam leluhur. Setiap kerabat keturunan dari umbul – umbul masyarakat Adat Buay Mencurung membawa bekal makanan. Setelah membersihkan area makam dan berdoa bersama.

“Tradisi yang dilakukan secara turun – temurun oleh keturunan Mencurung di makam leluhur dan asal usul leluhur kami di lahan adat buay mencurung di perkebunan PT. Sinar Indah Perkasa (PT.SIP) ini menyambut Idul Fitri dan Idul Adha sebagai bentuk syukuran atas nikmat yang diberikan hingga bertemu dengan hari. tersebut , “Kata Saidi gelar Raden Darmawan tokoh adat salah satu ketua Umbulan Mencurung.Jumat ( 8/7/2022).

Dalam proses pelaksanaannya, seluruh sanak keluarga dari masing-masing tokoh umbulan beramai-ramai ke makam dan membawa bekal makanan. Setelah membersihkan area makam dan berdoa bersama yang dipimpin oleh ustad Maulan Santri jebolan Pakistan. Mereka menggelar tikar memanjang dan duduk di tikar tersebut, sambil berbagi bekal bersama mereka membuat ikrar bersama u perjuangan mengembalikan pusaka leluhurnya dengan prinsip – prinsip budaya lokal

Ziarah kubur ini memiliki hubungan bagaimana kedekatan manusia dengan pendahulunya atau dalam arti bagaimana manusia menghargai jasa maupun pengalaman bersama mereka yang telah lebih dahulu meninggalkan dunia.

” Tradisi ini baik, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan perlu dipertahankan. Ini menunjukkan hubungan persaudaraan tidak hanya saat masih hidup, tapi juga setelah wafat,” imbuh Saidi bersama Tono dan Muslimin serta didampingi Sinung Karto, SH dan Abu Hasan. Berserta sanak keluarga dari masing-masing tokoh umbulan dengan total keseluruhan 265 orang.

Dengan tujuan makam pertama ada di umbulan Pesewo mencurung dengan nama makam ibu marmah bin sebiru, yang merupakan nenek dari bapak Saidi yang merupakan ketua umbulan dari buay mencurung. Tampak ada prosesi ziarah di hadiri sanak keluargaa dari silsilah buay mencurung beserta para marga adat lainnya

Kemudian pada makam kedua yang berada di umbulan serdang yang di ketua bapak Firli terdapat dua makam dengan masing – masing makam dari Usman Bin Abdulan dan Idris Bin Muhammad Akib, hadir juga para keturunan dari umbulan serdang yang ikut doa bersama.

Sementara itu , dalam ritual itu dihadiri juga perwakilan dari perusahaan PT SIP yakni Ramadan selaku pelaksana pengawas lahan. Tujuan kedatangan Masyarakat Adat ini sekaligus melaporkan masalah tanah adat mereka seluas lebih kurang 5000 hektar dijadikan Hak Guna Usaha oleh PT. Sumber Indah Perkasa (SIP).

Harmonisasi

Cara manusia menghargai sesama, leluhur, dan alam sekitar itu bukan berarti dapat dikatakan sebagai sebuah pemujaan, sebagaimana yang sering salah ditafsirkan orang-orang. Manusia pada dasarnya hanya ingin hidup selaras atau seimbang, yang mana hal itu terkadang dapat dijumpai dalam momen-momen tertentu.”Memang sekarang ini bisa kita lihat sedang banyak terjadi konflik. Namun, sekali lagi, dengan datangnya momen Lebaran, ziarah kubur, dan segala macam itu, kita semua menjadi rela untuk meninggalkan permusuhan dan kembali lagi menghargai satu sama lain. Adanya relasi historis, religius, kedekatan personal, persaudaraan, kekerabatan, semuanya kembali dalam satu momen itu,” .Tradisi lokal ini sebenarnya juga selalu peka atas keseimbangan alam dan manusia. Ziarah ini selalu punya benang merah yang dapat dikaitkan dengan usaha untuk mengelola konflik. Budaya lokal selalu punya cara untuk merawat kehadiran ‘roh’ harmonisasi.Dalam satu contoh kasus, seseorang dalam suku tertentu bisa dibilang tidak suka dengan saudaranya atau suku lainnya dan begitu pula sebaliknya. “Akan tetapi, ketika datang Lebaran, konflik itu kemudian dikelola hingga terlebur atau seperti yang orang-orang bilang menjadi ‘nol’ lagi. Oleh karena itu,, jika tidak ada Lebaran, konflik-konflik itu boleh dibilang akan semakin kuat, menumpuk, dan jika ada satu kali ledakan akan bisa sangat berbahaya. Momen-momen kebersamaan, momen ziarah kubur itu sangat lekat dengan bagaimana cara masyarakat mengelola kehidupannya agar dapat mencapai sebuah titik yang disebut harmoni.

(Husni)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *