Lantainewstv.com,(SMSI) -.Belakangan ini seringkali kita mendengar istilah Obstruction Of Justice disampaikan oleh berbagai pihak, baik itu advokat dan ahli hukum maupun pengamat hukum. Istilah Obstruction of Justice berkembang di negara-negara Common Law, yang berarti suatu tindakan untuk menghalangi proses peradilan pidana berupa ancaman untuk menghalangi proses peradilan pidana atau upaya untuk menghalangi dan melakukan tindakan tindakan menghalangi proses peradilan pidana.
Penanganan perkara kasus Brigadir J. yang dilakukan oleh penegak hukum dianggap telah memenuhi kriteria Obstruction of Justice. Setidaknya, pandangan itu disampaikan berulang kali penasihat hukum Brigadir J. Penasihat hukum Brigadir J menduga penyelidik dan penyidik melakukan obstruction of justice dalam perkara tersebut berupa rekayasa perkara dan menghilangkan atau merusak barang bukti.
Perbuatan merusak CCTV di tempat perkara, merekayasa lokasi kejadian dengan menembakkan peluru ke dinding rumah, dan dugaan tindakan suap dapat dipandang sebagai tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana, khususnya proses penyidikan. Perbuatan menghalang-halangi itu membuat proses penanganan perkara menjadi obscuur dan lambat.
Kita tidak akan menemukan istilah obstruction of justice dalam KUHP.
Tetapi beberapa kriteria yang disampaikan di atas dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam KUHP, antara lain; Pasal 221 ayat (1), Pasal 231 dan Pasal 233. Pada Pasal 221 ayat (1) kesatu KUHP diatur tentang perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau memberikan pertolongan kepada pelaku untuk menghindari penyidikan.
Pasal 221 (1) ke 2 menyatakan: Barang siapa yang melakukan perbuatan menutupi tindak pidana yang dilakukan, dengan cara menghancurkan, menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti dan alat bukti diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Lalu, Pasal 231 ayat (1) dan (2) KUHP mengatur tentang penarikan barang sitaan yang dititipkan atas perintah hakim. Apabila terhadap barang sitaan tersebut pelaku merusak, menghancurkan, membuat tak dapat dipakai barang yang disita diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 233 KUHP juga mengatur obstruction of justice dalam hal ada tindakan yang dilakukan oleh seseorang berupa merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, menghilangkan barang bukti berupa akta-akta, surat-surat yang tujuannya untuk membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang. Perbuatan pidana ini diancam pidana penjara paling lama empat tahun.
Apabila kita kaji dengan unsur unsur tindak pidana yang diuraikan dalam berbagai pasal KUHP di atas dapat dikatakan bahwa kasus Brigadir J memenuhi unsur Pasal 221 ayat (1) ke-1 dan ke-2. Sebab, ada tindakan yang dilakukan oleh sebagian orang untuk memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana untuk menghindari penyidikan. Ada juga tindakan lainnya yang dilakukan oleh sebagian orang melakukan perbuatan menutupi tindak pidana yang dilakukan, dengan cara menghancurkan, menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti dan alat bukti.
Pengaturan obstruction of justice dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP sesungguhnya tidak membedakan siapa pelaku, apakah masyarakat sipil atau aparat penegak hukum seperti penyidik, advokat, atau penuntut umum. Sebagian pakar berpendapat belum ada pasal yang mengatur tentang obstruction of justice yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam KUHP.
Tetapi kalau kita lihat isi Pasal 221 ayat (1), ayat (2), Pasal 231 dan 233 KUHP diatur juga obstruction of justice yang dilakukan oleh aparatur negara atau aparat penegak hukum. Masalahnya adalah apakah dapat digunakan unsur pemberat jika yang melakukan obstruction of justice tersebut justru adalah aparat penegak hukum? Bukankah mereka seharusnya menegakkan hukum dan melaksanakan pekerjaannya secara cepat agar terciptanya kepastian hukum dalam suatu peristiwa pidana? Masalah lain, tidak ada pengaturan secara jelas tentang tindakan merekayasa kasus atau merekayasa barang bukti di dalam pasal-pasal tersebut.
Dalam penanganan kasus Brigadir J, disinyalir ada rekayasa kasus yang dilakukan oleh tersangka. Tersangka pelaku diduga merekayasa sedemikian rupa tentang motif dan peristiwa tindak pidana pembunuhan Brigadir J. Kematian korban seolah-olah merupakan suatu peristiwa yang bisa digolongkan ke dalam noodweer atau noodweer excess. Skenario untuk mengelabui penyidik dibuat dan disertai dengan tindakan lain dengan merusak dan menghilangkan beberapa barang bukti.
Jika kejadian seperti ini terjadi di Amerika Serikat sangat mudah bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan ketentuan obstruction of justice. Tindakan rekayasa yang dilakukan oleh tersangka pelaku dikualifikasi sebagai tampering with evidence dan famous obstructions. Di Indonesia, walaupun tidak dinyatakan secara tegas dalam unsur Pasal 221 ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHP, tindakan tersebut tetap dapat didakwa karena masuk dalam unsur perbuatan menutupi tindak pidana. Rekayasa dalam kasus ini bertujuan untuk menutupi tindak pidana yang diduga dilakukan oleh tersangka, sehingga Pasal 221 dapat dapat digunakan penyidik dan penuntut umum. Tentu saja, penyidik dan penuntut umum berwenang menggunakan pasal lain sepanjang relevan dengan tindak pidana yang didakwakan.
Rendahnya ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada pelaku obstruction of justice yang diatur di Pasal 221 KUHAP dan tidak adanya pengaturan tentang alasan pemberat yang dapat dijatuhkan kepada pelaku seandainya pelaku adalah aparat penegak hukum membuat masyarakat meragukan penegakan pasal ini. Penerapan pasal tersebut bakal diuji di persidangan kasus Brigadir J.
Untuk terciptanya rasa keadilan dan kepastian hukum ke depan, perlu diperkuat dan ditambahkan ketentuan mengenai obstruction of justice dan subjek pelakunya di dalam RUU KUHP. Jika tidak, maka obstruction of justice dapat merusak Sistem Peradilan Pidana dan merusak Kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
(Penulis : Ermanita Permatasari, SH., MH.)
(Dosen Hukum Pidana STAI Darussalam Lampung)